Jumat, 11 Januari 2013

Teori Pendidikan Jerome Brunner




Profesor Jerome Brunner adalah seorang psikolog berkebangsaan Amerika Serikat, dan lahir pada 1 Oktober 1915 di New York City, Amerika Serikat. Brunner memperoleh pendidikan di BA, Duke University, 1937. PhD, Harvard, 1941 (psikologi). Profesor psikologi di Harvard (1952-1972). Profesor psikologi di Oxford (1972-1980). Dia telah banyak memberikan kontribusi pada psikologi kognitif dan teori belajar kognitif pada psikologi pendidikan. Pengaruhnya terhadap proses belajar sangat penting karena dapat membantu para pendidik dalam menangani psikologi peserta didik yang berbeda-beda. 
Belajar merupakan aktifitas yang berproses, tentu didalamnya terjadi  perubahan-perubahan yang bertahap. Perubahan-perubahan tersebut timbul melalui tahap-tahap yang antara satu dan lainnya bertalian secara berurutan dan fungsional. Dalam konsep belajar penemuan menurut Jerome Bruner, ada tiga episode/tahap yang ditempuh oleh siswa, yaitu: tahap informasi (tahap penerimaan materi), tahap transformasi (tahap pengubahan materi) dan tahap evaluasi (tahap penilaian materi). Dari ketiga tahapan konsep penemuan Jerome Bruner tersebut adalah saling berkaitan.
1. Tahap informasi (tahap penerimaan materi)
Dalam tiap pelajaran kita peroleh sejumlah informasi, ada yang menambah pengetahuan yang telah kita miliki, ada yang memperhalus dan memperdalamnya, ada pula informasi yang bertentangan dengan apa yang telah kita ketahui sebelumnya.
2. Tahap transformasi (tahap pengubahan materi) 
Informasi itu harus dianalisis , diubah atau ditransformasi kebentuk yang lebih abstrak atau konseptual agar dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas. Dalam hal ini bantuan guru sangat diperlukan.
3. Tahap evaluasi (tahap penilaian materi)
Informasi kemudian dinilai sampai dimana pengetahuan yang diproleh  dan ditransformasikan itu dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala lain.
Dalam proses belajar ketiga tahapan ini selalu ditemukan. Yang menjadi masalah ialah berapa banyak informasi diperlukan agar dapat ditransformasi. Lama tiap tahapan tidak selalu sama. Hal ini antara lain juga tergantung pada hasil yang diharapkan, motivasi murid belajar, minat, keinginan untuk mengetahui dan dorongan untuk menemukan sendiri. Konsep ini juga menjelaskan bahwa prinsip pembelajaran harus memperhatikan perubahan kondisi internal peserta didik yang terjadi selama pengalaman belajar diberikan dikelas. Pengalaman yang diberikan dalam pembelajaran harus bersifat penemuan yang memungkinkan peserta didik dapat memperoleh informasi dan keterampilan baru dari pelajaran sebelumya.
Dalam pembahasan dalam perkuliahan sebelumnya, terdapat empat gejala jiwa yang ada dalam manusia yaitu kognitif (pengenalan), afektif (emosi atau perasaan), konatif (kehendak), dan psikomotorik (ketrampilan). Brunner adalah pengikut setia teori kognitif. Kognitif disini adalah ranah atau kawasan ini merujuk pada potensi subyek belajar menyangkut kecerdasan atau intelektualitasnya, seperti pengetahuan yang di kuasai maupun cara berpikir. Dalam domain atau ranah ini, dibagi dalam dua bagian besar. Masing-masing adalah pengetahuan (kemampuan atau penguasaan terhadap pengertian atau definisi sesuatu, prinsip dasar, pola urutan dan sebagainya) dan keterampilan intelektual (pemahaman, aplikasi, analisa, sintesa dan evaluasi)
Menurutnya, belajar adalah proses yang bersifat aktif terkait dengan ide Discovery Learning. Ditinjau dari arti katanya “discover” berarti menemukan dan “discovery”adalah penemuan. Robert B. menyatakan bahwa discovery adalah proses mental di mana anak/individu mengasilmilasi konsep dan prinsip. Jadi, seseorang siswa dikatakan melakukan discovery bila anak terlihat menggunakan proses mentalnya dalam usaha menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip. Proses mental yang dilakukan, misalnya mengamati, menggolongkan, mengukur, menduga dan mengambil kesimpulan. Jadi, discovery learning adalah kemampuan siswa berinteraksi dengan lingkungannya melalui eksplorasi dan manipulasi obyek, membuat petanyaan dan menyelenggarakan eksperimen. Teori ini menyatakan bahwa cara terbaik bagi seorang siswa untuk memulai belajar konsep dan prinsip adalah dengan mengkonstruksi sendiri konsep dan prinsip yang dipelajari itu. Hal ini perlu dibiasakan sejak kecil. Selain teori tersebut, dia juga mengadaptasi teori tahapan perkembangan kognitif dari Piaget. Brunner mengemukakan bahwa proses belajar lebih ditentukan oleh cara mengatur materi pelajaran dan bukan ditentukan oleh umur seseorang seperti yang telah dikemukakan Piaget. Brunner menjelaskan perkembangan anak usia dini dalam tiga tahap:
a. Enaktif (0-3 tahun) yaitu pemahaman anak dicapai melalui eksplorasi dirinya sendiri dan manipulasi fisik-motorik melalui pengalaman sensori. Misalnya, melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dan sebagainya.
b. Ikonik (3-8 tahun) yaitu perkembangan dimana anak menyadari segala sesuatu ada secara mandiri melalui gambar yang konkret bukan yang abstrak. Maksudnya dalam memhami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi).
c. Simbolik (>8 tahun) yaitu perkembangan dimana anak sudah memahami simbol-simbol dan konsep seperti bahasa dan angka sebagai representasi simbol. Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak sistem simbol. Semakin matang seseorang dalam proses berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Meskipun begitu tidak berarti ia tidak lagi menggunakan sistem enaktif dan ikonik. Penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran merupakan salah satu bukti masih diperlukannnya sistem enaktif dan ikonik dalam proses belajar. 

Dalam kehidupan manusia, pasti mengalami perkembangan. Baik di bidang fisik maupun emosi serta pemikirannya. Brunner menandai perkembangan kognitif manusia sebagai berikut:
• Perkembangan intelektual ditandai dengan adanya kemajuan dalam menanggapi suatu rangsangan.
• Peningkatan pengetahuan tergantung pada perkembangan sistem penyimpanan informasi secara realistik.
• Perkembangan intelektual meliputi perkembangan kemampuan berbicara pada diri sendiri atau pada orang lain melalui kata-kata atau lambang tentang apa yang telah dilakukan dan apa yang akan dilakukan. Hal ini berhubungan dengan kepercayaan pada diri sendiri.
• Interaksi secara sistematis antara pembimbing, guru atau orang tua dengan anak diperlukan bagi perkembangan kognitifnya.
• Bahasa adalah kunci perkembangan kognitif, karena bahasa merupakan alat komunikasi antara manusia. Untuk memahami konsep-konsep yang ada diperlukan bahasa. Bahasa diperlukan untuk mengkomunikasikan suatu konsep kepada orang lain.
• Perkembangan kognitif ditandai dengan kecakapan untuk mengemukakan beberapa alternative secara simultan, memilih tindakan yang tepat, dapat memberikan prioritas yang berurutan dalam berbagai situasi. 

Teori belajar ini sangat membebaskan siswa untuk belajar sendiri yang disebut bersifat discovery (belajar dengan cara menemukan). Menurut Brunner perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan cara menyusun mata pelajaran dan menyajikannya sesuai dengan tahap perkembangan orang tersebut. Teori ini banyak menuntut pengulangan-pengulangan sehingga desain yang berulang-ulang tersebut disebut sebagai kurikulum spiral Brunner. Kurikulum ini menuntut guru untuk memberi materi pembelajaran atau perkuliahan setahap demi setahap dari yang sederhana sampai yang kompleks, dimana suatu materi yang sebelumnya sudah diberikan suatu saat akan muncul kembali secara terintegrasi dalam suatu materi baru yang lebih kompleks. Hal ini dilakukan secara terus menerus sehingga tidak terasa siswa telah mempelajari suatu ilmu pengetahuan secara utuh. Kurikulum ini merupakan bentuk penyesuaian antara materi dipelajari dengan tahap perkembangan kognitif orang yang belajar.

Dalam dunia pendidikan, teori Brunner ini telah banyak diaplikasikan oleh para pendidik secara tidak langsung. Beberapa bentuk dari penerapan teori tersebut seperti:
1. Menentukan tujuan-tujuan instruksional
2. Memilih materi pelajaran
3. Menentukan topik-topik yang akan dipelajari oleh peserta didik
4. Mencari contoh-contoh, tugas, ilustrasi dan sebagainya yang bersifat konkret, sehingga dapat digunakan peserta didik untuk bahan belajar
5. Mengatur topik peserta didik  dari konsep yang paling kongkrit ke yang abstrak, dari yang sederhana ke kompleks
6. Mengevaluasi proses dan hasil belajar

Selain bentuk-bentuk dari penerapan teori, dapat dicontohkan sebagai berikut:
a. Sajikan contoh dan non contoh dari konsep-konsep yang diajarkanpara pendidik. Contoh: dalam mengajarkan mamalia, contohnya : manusia, ikan paus, kucing, atau lumba-lumba. Sedangkan non contohnya adalah ayam, ikan, katak atau buaya dan lain-lain.
b. Bantu peserta didik untuk melihat adanya hubungan antara konsep-konsep. 
Contoh : Beri pertanyaan kepada si belajar seperti berikut ini “apakah ada sebutan lain dari kata “rumah”? (tempat tinggal) “dimanfaatkan untuk apa rumah?” (untuk istirahat, berkumpulnya keluarga dan lain-lain) adakah sebutan lainnya dari kata rumah tersebut?
c. Beri satu pertanyaan dan biarkan peserta didik untuk berusaha mencari jawabannya sendiri. 
Contoh : Bagaimana terjadinya embun?
Apakah ada hubungan antara Kabupaten dan Kotamadya?
d. Ajak dan beri semangat peserta didik untuk memberikan pendapat berdasarkan intuisinya. 
Contoh : beri peserta didik suatu peta Yunani Kuno dan tanyakan di mana letak kota-kota utama Yunani. Jangan berkomentar terlebih dahulu atas jawaban siswa, kemudian gunakan pertanyaan yang dapat memandu peserta didik untuk berfikir dan mencari jawaban yang sebenarnya dan lain-lain.

Teori ini sangat bagus apabila diterapkan dalam pendidikan, baik di lingkungan sekolah ataupun perguruan tinggi. Apalagi di zaman sekarang ini, para peserta didik harus lebih kreatif dalam berpikir dan melakukan sesuatu, agar tidak ketinggalan zaman. Apalagi sekarang sudah banyak teknologi seperti komputer dan software-software yang dapat mendukung untuk klebih kretif. 
Secara lebih rinci disebutkan kelebihan-kelebihan yang ada dalam teori discovery learning:
1. Belajar penemuan (discovery) dapat digunakan untuk menguji apakah belajar sudah bermakna.  Dalam hal ini, saat para peserta didik sedang melakukan penelitian dan penemuan, secara langsung mereka akan menggunakan materi-materi yang telah dipelajari sebelumnya. Di saat itulah mereka dapat menguji dan mempertanggungjawabkan apakah ilmu yang telah mereka peroleh itu berguna dan bermakna bagi mereka atau tidak.
2. Pengetahuan yang diperoleh peserta didik akan tertinggal lama dan mudah diingat. Penemuan yang mereka lakukan sifatnya hampir sama dengan pengalaman. Bila mereka mengalami dan mempraktekkannya sendiri, maka secara tidak langsung memori dalam otak akan merekam semua itu. Dan memori yang menangkap pengalaman adalah memori yang sifatnya jangka panjang. Sehingga walaupun sudah bertahun-tahun terjadi dan diingatkan kembali, maka bisa jadi ingatan itu masih ada.
3. Mendorong peserta didik untuk lebih aktif. Aktif disini berarti para peserta didik harus lebih tanggap dan berfikir lebih agar penemuan yang akan dilakukan bisa maksimal dan dapat dipertanggungjawabkan.
4. Pengembangan kreativitas dan kemampuan dalam memecahkan masalah. Suatu masalah tidak akan selesai apabila hanya dilihat dari satu sudut pandang saja. Melainkan harus dilihat dari banyak sisi sehingga dalam menyelesaikan masalah tidak bersifat objektif. Karena penemuanlah, anak menjadi mendapat banyak pengalaman dan dapat menyelesaikan suatu masalah dengan tidak hanya satu penyelesaian saja.
5. Memperoleh pengalaman belajar yang sesuai. Dengan penemuan, peserta didik akan mendapat pengalaman bagaimana untuk menemukan suatu hal, dan itu akan berguna bagi kehidupannya kelak.
6. Meningkatkan motivasi. Anak yang telah melakukan penemuan dalam sistem pembelajarannya, maka anak itu akan merasakurang bila tidak melakukan penemuan atau mempraktekkan apa yang telah dipelajarinya. Hal ini akan memotivasi anak dalam belajar, sehingga dia bisa belajar sesuai dengan kenyamanan dirinya.

Selain kelebihan yang ada dalam teori discovery learning, juga terdapat kelemahan-kelemahan. Diantaranya:
1. Konsep belajar ini menuntut peserta didik untuk memiliki kesiapan dan kematangan mental. Peserta didik harus berani dan berkeinginan mengetahuai keadaan disekitarnya untuk melakukan penemuan. Jika tidak memiliki keberanian dan keinginan tentu proses belajar akan terhambat atau bahkan gagal.
2. Kurang berhasil apabila dilaksanakan dalam kelas yang besar. Pelaksanaannya akan kurang efektif bila peserta didik dibentuk dalam kelompok dengan jumlah yang banyak. Prosesnya akan terhambat karena jumlah anak yang banyak akan membuat kelompok tersebut kurang fokus dengan penemuannya.
3. Penciptaan kognitif  berlebihan. Hal ini mengakibatkan aspek psikomotorik dan afektif dari peserta didik menjadi kurang dikembangkan. Akibatnya, mereka akan cenderung berfikir tentang ilmu saja dan mengabaikan pengembangan kepribadian dan ketrampilan fisik yang dipunyai.
4. Belajar penemuan ini memerlukan kecerdasan anak yang tinggi. Bila kurang cerdas, hasilnya kurang efektif. Hal ini akan menciptakan jurang pemisah antara anak yang cerdas dan anak yang kurang. Anak yang mempunyai masalah dalam belajar akan jauh tertinggal dalam mengerti dan memahami apa yang diajarkan oleh pendidik.
5. Teori belajar seperti ini memakan waktu cukup lama dan kalau kurang terpimpin atau kurang terarah dapat menyebabkan kekacauan dan kekaburan atas materi yang dipelajari. Kunci dari kelemahan ini ada pada pendidiknya. Dan pendidik yang akan menggunakan teori ini haruslah mempunyai pengendalian dan kepemimpinan yang baik sehingga lebih terarah dan peserta didik mudah memahaminya.

Selain itu, faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pembelajaran di lingkungan pendidikan adalah:
a.Guru harus bertindak sebagai fasilitator, mengecek pengetahuan yang dipunyai siswa sebelumnya, menyediakan sumber-sumber belajar, dan menanyakan pertanyaan yang sifatnya terbuka.
b.Siswa membangun pemaknaanya melalui eksplorasi, manipulasi, dan berpikir.
c.Penggunaan teknologi dalam pengajaran, siswa sebaiknya melihat bagaimana teknologi tersebut bekerja daripada hanya sekedar diceritakan oleh guru.

Kesimpulannya, teori pendidikan dari Jerome Brunner adalah teori discovery learning yaitu belajar dengan menemukan konsep sendiri. Karena dalam pembelajaran ini dilakukan berulang-ulang, maka dikenal dengan kurikulum spiral. Sehingga secara tidak langsung para peserta didik telah menambah ilmunya tanpa mereka ketahui. Teori ini sangat mengedepankan kreativitas pemikiran dari peserta didik untuk melakukan eksperimen. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk menerapkan teori ini di pembelajaran dari pendidik, yaitu dengan memberikan contoh yang nyata, mengembangkan keberanian peserta didik melalui penyampaian pendapat, dan sebagainya. Teori ini pun mempunyai beberapa kelebihan yaitu dapat meningkatkan motivasi, mengembangkan pemikiran dalam menyelesaikan masalah, memperoleh pengalaman, pengetahuan yang di dapat mudah diingat, dan sebagainya. Selain itu teori ini juga mempunyai kelemahan, yaitu peserta didik dituntut untuk mempunyai kesiapan mental, memakan waktu yang cukup lama, memerlukan kecerdasan anak yang tinggi, dan sebagainya. Bila para pendidik menggunakan teori ini dengan benar dan bijak, maka hasilnya akan baik dan para peserta didik lebih mudah dalam mempelajari suatu ilmu.

Daftar Pustaka
Sugihartono, dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta : UNY Press
http://elangriadi.blogspot.com/2012/02/teori-pembelajaran-jerome-bruner.html 
http://kedaibunga.wordpress.com/2010/04/23/teori-belajar-penemuan-discovery-learning-jerome-brunner/ 
http://masesigit.blogspot.com/2011/04/adapun-kelemahan-konsep-belajar-penmuan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar